Kamis, 25 April 2024

kurikulum rumah tangga

*Kurikulum Rumah Tangga*
Oleh Ust. Herfi Ghulam F.
Ditulis oleh Khoirun Nikmah @nikmahwriter

Sumber kajian : https://www.youtube.com/live/DvIXgkeNHCc?si=g_AvDrC64AvabXHf


INTRODUCTION:
*Problem Rumah Tangga Muslim Hari Ini.*
📝Menikah Tetapi Belum selesai dengan Diri sendiri.
Tidak mengenal diri sendiri, kemudian menikah dengan pasangan yang juga belum selesai dengan diri. Apalagi ditambah dikaruniai anak (ada pola asuh yang belum beres dengan diri sendiri) maka ini menghasilkan ketidakharmonisan ketika berinteraksi, baik dengan diri maupun sekitar (pasangan, kerabat, keluarga, anak, tetangga, teman kerja, dst).
Sejatinya, yang bermasalah di dunia ini bukan eksternal, melainkan kita yang *belum harmonis dengan diri sendiri*. Indikatornya adalah melihat segala sesuatu bahwa segalanya adalah masalah.
Orang yang belum harmonis dengan dirinya, melihat sesuatu yang bukan masalah dengan dirinya pun adalah masalah, apalagi jika itu benar-benar masalah. Apalagi jika terpelihara dalam waktu yang lama. Maka menjalani rumah tangga pun dalam keterpaksaan, bukan kerelaan. Kenapa? Karena belum memahami konsep diri dengan benar.

Orang yang selama ini dianggap sabar, adalah yang menahan diri. Padahal menahan diri adalah hanya step awal dari sabar itu sendiri. Sebab sabar bukanlah menahan. Kalau ditahan saja, itu akan terakumulasi (sebab berkaitan dengan rasa, emosi, sifatnya panas). Jadi, sabar itu sejatinya adalah seni melepaskan beban. Jadi, jangan menganggap sabar sekadar menahan diri. Itu masih rendah sekali.
💖🤗
*Sabar adalah seni melepaskan beban, bukan seni menahan diri.*

Jika dianggap sabar adalah menahan diri, maka orang yang sabar yang cuma mampu menahan, fisiknya akan sakit, hanya defense, maka seharusnya dilepas, lapang dada.

📝 Masalah kedua, membayangkan rumah tangga kayak di film-film. Ini salah meletakkan dan memaknai kata bahagia.
Ketika seseorang hanya memikirkan masalah, maka gak akan keluar-kelar. Sebab hal mendasar segalanya ada di hati kita. Maka seharusnya kita belajar bagaimana cara menguatkan hati sehingga ketika masalah tiba, hati kita semakin kuat.
Alih-alih ingin bahagia, membahas apa itu bahagia pun, tidak paham. Membahas bahagia saja, tidak sempat. Hal ini dikarenakan belum memahami diri sendiri, tidak tahu diri sendiri tapi berani menikah. Lantas jika sudah telanjur? Ya gunakan sebagai obat. Jangan dibuang, terus melangkah sambil belajar.

*Konsep Diri dan Konsep Keluarga*
Setelah kita menyekolahkan anak sampai ±18 tahun (TK-kuliah) tapi masih belum mengenal jati diri, alih-alih menjadi pembenaran saat 'kurang ajar', lantas belajar apa saja?
Misal, masih labil, suka main game, suka nongkrong, padahal ada kebahagiaan yang hakiki didalam rumah tangganya. Saat menyampaikan hal yang pakem, malah tidak menerima, mencerca masa lalu, menyalahkan ortu, dst. Padahal bahagia di setiap fase pertumbuhan anak itu nyata dalam Islam, jika kita paham.

Perceraian semakin meningkat karena yang sering terjadi, tidak harmonis setelah menikah, ini efek dari tidak kenal diri, menuntut pasangan sesuai harapan, saat pasangan tidak tahu/belum mampu, jadilah masalah.

INTI MATERI :
*Makna Keluarga dalam Al-Qur'an*🩷
Ketika kita salah memaknai sesuatu maka kita akan salah menyikapinya.
Misalnya : ada orang mengatakan bahwa bahagia itu dicari, maka orang seperti ini sampe mati pun, dia tidak akan bahagia. Sebab, kata mencari itu sendiri, sudah melelahkan jiwa. Mau sampai kapan?
Atau ketika mendapat sesuatu yang diinginkan.
Ketika itu didapat, maka bahagia. Jika tidak dapat, tidak bahagia. Apalagi ketika hilang, maka hilanglah pula kebahagiaan itu.

Jadi, mengawali sesuatu itu dari pemaknaan itu penting. Sama seperti saat kita kuliah, saat menulis sesuatu pasti dimulai dari definisinya dulu.

Saat anak sudah ingin menikah, perlu kita tanya, apa definisi Keluarga padanya. Emang perlu ya? Ya, perlu sekali. Karena banyak yang salah menyikapi hal dalam rumah tangga hanya gara-gara tidak paham keluarga itu apa. Ditambah lagi, dimana Barat hanya memotret hubungan suami-istri sebatas hubungan jinsiyah/biologis. 


Tidak hanya menanyakan makna tapi juga esensi. Esensi dari keluarga itu apa.

Dalam Islam, ikatan Keluarga itu seperti ikatan tulang dengan tulang dalam satu badan. Maka, untuk menghancurkan peradaban Islam, hancurkanlah keluarganya. Hancurkan simpul antar tulang. Jadikan masing-masing tulang itu bercerai berai, jalan dan menjalani kehidupan bebas masing-masing.

Saat Barat memotret hubungan hanya biologis, maka mengerikan sekali, kebutuhan hubungan laki-laki dan perempuan tidak musti dengan menikah. Jika tidak kita hentikan, maka keluarga muslim hari ini akan berjalan didalam falsafah Barat. Yaitu retaknya sendi-sendi Keluarga dan hubungan bebas.

*Kurikulum Keluarga Islam dalam Al-Qur'an* 🩷
Paham makna kata keluarga (آل أوسرو)
Dalam bahasa Arab, Al Usro artinya Keluarga. Tapi dalam kamus bahasa Arab, artinya baju perang, hasinah, baju besi. Yaitu menjaga tubuh kita dari sabetan pedang, tombak, panah musuh.

Secara bahasa memang artinya hanya laki-laki perempuan yang menikah membangun rumah tangga. Namun, dalam bahasa Arab, satu kata yang memiliki makna berbeda tapi ada akar huruf yang sama maka ada landasan filosofisnya.
Misal : jin, Jannah, janin. Ketiganya punya arti beda, tapi ketiganya punya filosofis yang sama (ghoib, tidak tampak).
Jin : makhluk ghoib
Jannah : surga, atau pohon rindang yang kalo ada orang berteduh dibawahnya, ada pesawat lewat, gak keliatan dari atas (tertutup, tidak kelihatan)
Janin : bayi dalam kandungan, juga tidak kelihatan.

Maka, Al Usro pun sama. Punya makna : keluarga dan baju besi yang sangat kokoh.
Artinya, keluarga itu seperti baju besi yang kokoh, yang melindungi orang didalamnya dari segala fitnah atau marabahaya.

Kita tahu, fitnah di akhir zaman sangat mengerikan. Kata Rasulullah, seperti sepotong malam yang gelap gulita. Saking gelapnya, saking pekatnya, fitnah itu bisa menyebabkan orang itu pagi harinya muslim, sorenya murtad, pun sebaliknya, sore muslim, pagi murtad.

Maka, sebesar apapun kondisi fitnah di luar rumah, maka pertahankan Keluarga kita. Ada syubhat apapun, pertahankan Keluarga kita.

Masyarakat modern hari ini mengalami gangguan jiwa yang istilahnya adalah patologis. Yaitu orang mulai kehilangan makna hidup. Duitnya banyak tapi kosong, kehilangan makna hidup. Istilahnya, dunia ini Allah bukakan tapi hidup jauh dari maknanya. Sampai di level tertinggi yaitu tidak merasakan kebahagiaan hidup dan bahkan merasakan kebingungan tanpa sebab. Subhanallah!
Kenapa bingung tanpa sebab? Ya karena telah kehilangan makna hidupnya.

Ketika gangguan dan virus itu merebak dimana-mana, maka perisai kita sejatinya adalah Keluarga yang kita bangun. Misalnya, saat suami jabatannya naik, uangnya banyak tapi merasa kosong, maka disitulah peran keluarga hadir. Menghadirkan makna hidup. Sebagaimana baju besi, saat berperang pasti terluka, tapi tidak sampai menembus kedalam badan. Karena kita punya perisai, keluarga.

Misalnya permasalahan hedonisme. Banyak orang Hedon bukan sepenuhnya orang itu salah. Bahkan kasihan, dia itu malah sulit untuk senang saat mendapatkan semua atau sesuatu yang sesungguhnya dia seharusnya senang. Orang ini mengalami gangguan jiwa juga jika tidak segera kembali ke Allah, sangat menyedihkan.

Sebagaimana saat akhir zaman. Imam Mahdi kelak akan bergerak ke eropa, kemudian meminta 10 pasukan berkuda terbaiknya untuk cek ke Suriah apakah Dajjal sudah muncul. Namun setelah dicek belum muncul, Imam Mahdi memutuskan untuk kembali menempuh perjalanan, di tengah jalan, berita valid munculnya Dajjal sudah terang. Maka, pertama kali yang imam Mahdi lakukan, bukan menyiapkan pasukan, tetapi meminta pasukannya untuk kembali kepada KELUARGA untuk balik ke RUMAH masing-masing, menyiapkan segala sesuatunya (pesan, zikir, makanan dst) agar terhindar dari fitnah Dajjal yang sudah muncul sosoknya. Setelah itu, barulah Imam Mahdi memanggil pasukan kembali, mengimami solat yang sudah mau masuk waktu subuh dan disana turun Nabi Isa yang basah seperti bekas air wudhu dan solat bersama kemudian bergerak membunuh Dajjal.

Intinya adalah, keluarga.

Makna Keluarga dalam Al-Qur'an 
Terdapat didalam Q.S Al Insan : 28
نَحْنُ خَلَقْنٰهُمْ وَشَدَدْنَآ اَسْرَهُمْۚ وَاِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَآ اَمْثَالَهُمْ تَبْدِيْلًا
Kami telah menciptakan mereka bukan ciptaan yang sembarangan dan juga menguatkan *persendian* tubuh mereka padahal tadinya hanyalah air mani yang begitu lemah dan hina. 

Kata Asro, diartikan persendian... Kami kokohkan asrohum, persendian.

Maka, ada istilah sendiri keluarga, dan sejatinya sendi itulah keluarga.
Intinya, anak-anak, pasangan, diri kita, tidak bisa hidup sendiri masing-masing. Misal gakmau taat aturan, dst. Jika sendiri masing-masing, lantas buat apa berkeluarga? Jika masing-masing mencari kebahagiaan sendiri-sendiri. Jika ada seperti itu, seperti orang yang sedang sakit sendi. Tersentuh dikit, nyeri.

Saat persendian bermasalah maka diajak jalan pun, susah. Karena sendiri itu menggerakkan seluruh badan, jika sakit, ya nyeri. Dalam Islam, jika sendi sakit, maka akan sulit untuk diajak mendekat pada Allah, indikatornya, malas beribadah, malas berbuat baik.

Jangan sampai keluarga kita seperti orang yang sakit sendi, kesenggol dikit aja, baper, gampang tersinggung, sensitif, ibarat ada baru kerikil kecil, terinjak, padahal batu itu sudah ada disitu 2 tahun gak kemana-mana, tapi yang disalahkan batunya. Marah, gara-gara baru kecil, padahal kaki atau tumitnya yang tidak sehat. Maka balik lagi, ke bab tentang keharmonisan didalam diri.

Dalam Al-Qur'an sudah sangat lengkap membahas hubungan keluarga. Tapi semua pembahasan itu jika dirangkum dalam satu kata adalah IHSAN.

IHSAN adalah level tertinggi setelah imaan.

Kata Umar bin Khattab dalam hadist yang diriwayatkan, Ihsan itu kamu menyembah Allah, seolah kamu melihatNya. Kalau tidak bisa, maka bayangkan seolah-olah Allah melihatmu.

Derajat tertinggi dari Ihsan adalah ihsannya hati. Ketika hati kita melakukan amal perbuatan, maka Allah melihat hati kita.


Ihsan berarti berbuat baik, ini tidak sama dengan membalas kebaikan.

Ahsana-Yuhsinu-Ihsan, artinya berbuat baik.

Kalau membalas kebaikan, dengan kebaikan, itu transaksional, bukan Ihsan.

Berbuat baik, Ihsan, artinya kamu terus melakukan kebaikan seperti apapun sikap orang padamu. Seperti apapun sikap istri atau suami padamu.

Ortu berbuat baik pada anak-anak seperti apapun sikap anak padanya.
Anak berbuat dan berbakti pada ortu seperti apapun yang ortu lakukan di masa dulunya padanya. Maka, jika ini kita terapkan, tidak akan ada istilah luka pengasuhan. Karena luka pengasuhan itu memang ditanam agar mudah bagi hawa nafsu mencari alibi. Karena tipis sekali perbedaannya. Antara luka pengasuhan atau alibi karena tidak mampu mengendalikan diri?

Misal, aku begini ini karena dulunya ortuku, BLA BLA BLA...

MasyaaAllah Tabarakallah.

Terkait Ihsan, semua muslim, non muslim, filosof barat maupun muslim, sepakat. Kunci kebahagiaan itu Ihsan, berbuat baik, memberi kebaikan. Disatukan dalam sebuah kalimat, "kebahagiaan tertinggi adalah ketika orang itu memberi, bukan ketika orang itu menerima."

Mbah Plato, Socrates, Aries Toteles, Ibn. Rusyd, ibn. Sina, Imam Ghazali, Muhammad Iqbal, semua sepakat. Padahal, para filsuf itu, selalu berbeda-beda dalam menyimpulkan sesuatu. 

Maka, orang yang ingin menaikkan level bahagianya pasti dia memutuskan untuk menikah, untuk memiliki keturunan, karena itu sudah pas, sebab dengan menikah, kita mencari orang yang akan kita beri, bukan tentang apa yang akan kita dapatkan dari pasangan.

Ketika cara pandang memberi ini tidak tertanam dalam mahligai pernikahan, misal malah dapat apa klo nikah dengan dia? Maka sampe kiamat atau kapanpun, kita tidak akan bahagia.

Jika kepuasan kita adalah memberi, maka kita tidak akan berpikir apakah dia atau mereka akan membalasnya.

Kesimpulannya: niat menikah, ingin memberi, bukan niat mengambil. Sebab puncak tertinggi bahagia adalah ketika memberi, ketika Ihsan.

Q.S Ar Rum :21
Terdapat kata mawaddah warrahmah. MasyaaAllah. Allah tidak menyematkan kata mahabbah, tapi mawaddah disana. Pada, Artinya sama, baik mahabbah maupun mawaddah, cinta. Rahmah, kasih sayang.

Mahabbah ini adalah rasa tertarik pada lawan jenis. Sifatnya emosi, rasa. Fluktuatif. Jika ada pemicu, ia muncul, tidak ada pemicu, ia tak ada. Hilang.

Ada orang yang menikah, dia mahabbah dulu, ada juga yang justru mahabbah setelah menikah. Tetapi MAWADDAH WARRAHMAH itu mutlak pemberian Allah. Bukan usaha manusia.

Mawaddah adalah kemampuan untuk memberi pasangan tanpa mengharapkan balasan.

Yang memberikan kemampuan ini adalah Allah... Maka, untuk mendapatkan itu, masing-masing harus connect dengan Allah.

Ketika yang besar adalah mahabbahnya, bukan mawaddah, jatuhnya adalah relasi yang toxic. Maka, mari kita naik level, dari mahabbah ke mawaddah.

Mahabbah itu rasa cinta/tanahnya emosi.
Mawaddah itu suluk/perilaku cinta. 🥰 Memberikan sesuatu tanpa mengharapkan balasan.

Maka, ketika Allah menyuruh kita sesuatu, misal melakukan kebaikan sebagai istri, tapi kok ngarepnya ke suami? Dimana bahagianya?

Ketika kita mawaddah, maka kita juga tidak akan Bakhil pada pada pasangan, termasuk tidak Bakhil untuk memberikan pujian.

Kata filsuf : "Menikahlah kamu, jika tidak, kamu tidak akan bahagia. Jika kamu dapat istri yang nurut, kamu bahagia. Kalau tidak dapat istri yang nurut, maka kamu akan menjadi filosof besar. Dan dengan menjadi filosof besar, maka kamu akan bahagia..." 🤭

Ya, tidak ada kitab setelah Al-Qur'an yang indah selain membaca 'kitab perempuan '. Bahkan Al-Qur'an sampe mention dijadikan nama surat. Seharusnya, ketika lelaki menikah, ia akan semakin pintar, cerdas, filsuf. Apalagi jika menikah dengan ahli sejarah. 🤭 Yang sering mengungkapkan masa lalu, mengingat kesalahannya dst.

Q.S An Nisa : 36
Q.S An Nisa : 19
(Dibaca ya terjemahannya, gak sempat copas)

Intinya. Diminta untuk bergaul dengan cara yang patut. Menurut tafsir ulama, bergaul dengan istri yang patut adalah yang ma'ruf, yaitu dengan cara memaafkan kesalahan-kesalahannya. Maka, kata Nabi, engkau akan menjadi pemimpin yang hebat.

Level tertinggi bergaul dengan istri: bergaul dengan ma'ruf. Memaafkan semua kesalahannya .
Level terendah : dengan cara yang patut (membelikan pakaian, tidak menyakiti, lembut dst)

Sebagaimana yang Rasulullah banggakan yaitu Zaid bin Haritsah. Zaid punya anak, Usamah bin Zaid. Usamah kulitnya hitam legam, Zaid justru putih bersinar. Tapi tidak meluruhkan kasih sayang Zaid pada Usamah walau diterpa fitnah. Walau Zaid bukan pemimpin besar, hanya pernah menjadi pemimpin di perang Mu'tah, tapi Rasulullah sangat menyayanginya. Menyebut sebagai pemimpin hebat. Kenapa? Karena sikap Zaid pada istrinya yang luar biasa, Zainab binti Jahsy. Mereka menikah 2,5tahun kemudian bercerai. Karena Zainab tidak sekufu dengannya. Zainab orang terpandang, keluarga Quraisy, sementara Zaid pernah menjadi budak Walau sudah merdeka. Walau demikian, ketika Zainab selalu setiap hari 'tidak mengorangkannya', mencaci, memaki, menyindir dan bahkan marah, Zaid tidak pernah sekalipun membalas. Selalu curhat ke Rasulullah diminta sabar. Kalau hanya 1-10 hari wajar, itu sampai 2,5tahun pernikahan. Tak ada satupun riwayat yang menerangkan Zaid membentak, memaki balik, mencerca, bahkan mengusir Zainab. MasyaaAllah. Sehebat itu, maka itulah indikator lelaki yang hebat seperti yang Rasulullah sematkan pada Zaid bin Haritsah...

Mudah-mudahan Allah kuatkan rumah tangga kita semua.


Allahul musta'an.

Alhamdulillah...

Alhamdulillah...

Alhamdulillah...