Senin, 11 September 2017

[12/9 11:25 AM] Merry M: Keluarga,  guru kecerdasan emosi

Merry Merianawati

Assalamu'alaykum wr. wb

🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Apa kabar bunprof semua?  Sangat terhormat saya diminta untuk menemani diskusi pada malam ini.  Saya bukan seorang pakar dan bergelar untuk bidang ini 😬.
Tulisan yang ditorehkan ini adalah berasal dari proses belajar saya di universitas kehidupan,  hasil perenungan, pengevaluasian diri, dan berburu ilmu.
Semoga torehan tulisan ini bermanfaat ☺

🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Semenjak anak saya (Muhammad Tahrir Alfatih/Alfath) yang kedua ini berusia 3 tahun,  suasana pagi adalah penentu dari keharmonisan hubungan di rumah.
Sering dag dig dug serasa dikejar kejar antara penyelesaian tugas domestik dan menghadapi ekspresi emosi alfath ketika dia bangun tidur.

Saat sibuk pegang pel-an sambil bikin sarapan dan menderunya suara mesin cuci, sering sekali teriakan kemarahan dan amukan menjadi rutinitas alfath bangun di pagi hari. Mulailah suasana kacau balau mengganggu keharmonisan di rumah impian "baity jannati".

Sudah terbayang apa yang terjadi pada saat itu,  saya merespon alfath dengan reaktif,  merembet pada kaka fathiya (anak saya yang pertama)  dan suami yang saar itu sedang tengah menyelesaikan sisa kerjaan yang belum beres...  "peperang mulai terjadi"

Setelah perang usai,  ternyata luka itu tak bisa disembunyikan.  Memang alfath kembali ceria dan bermain,  begitu juga dengan sang kaka yang mulai bersekolah.  Namun,  sebuah tak jarang ketika mereka berinteraksi dengan temannya saya sering merasa bahwa saat itu saya sedang "bercermin"..Astagfirullah,  persis banget mirip saya ketika dia meluapkan kekesalan pada temannya,  persis banget mirip saya ketika dia merespon ketidak sukaannya...
Pada saat itu, saya mendapatkan kesimpulan bahwa "Tanpa sadar,  mereka telah belajar ekspresi emosi dari saya"
"Tanpa sadar, saya telah menjadi guru emosi yang buruk untuk mereka"

Ketika muncul kesadaran tersebut,  saya bertaubat pada Allah mohon ampunan, minta jalan dan petunjukNya.

Saya bertanya pada diri saya:

"Mengapa saya berperilaku negatif ketika merespon kelakuan dan ekspresi emosi mereka? padahal perilaku saya pada mereka menghasilkan luka dan menjadi referensi mereka dalam mengekspresikan emosi yang mereka rasakan."

Dari hasil muhasabah dan belajar maka saya
menemukan ini:

Emosi dan perilaku negatif itu banyak faktor pemicu, bisa karena ada sesuatu dengan kebutuhan fisik yang belum tepenuhi misal lapar, ngantuk, cape dll

Bisa juga karena naluriyahnya yang perlu pemenuhan, misalnya ingin disayang dengan cari cara perhatian tapi ayah bunda masih belum sempat karena sedang melakukan hal lain, bisa juga kesal karena keinginan yang tidak terpenuhi, atau cemburu dengan sodaranya

Pertanyaannya, kenapa masalah kebutuhan fisik dan naluriyah ini bisa memicu pada perilaku negatif?

Jangankan pada usia anak-anak yang belum baligh, tak jarang juga pada kita orang dewasa pun bisa terjadi lho, misalnya ayah baru datang habis kerja dengan tubuh yang cape, sudah terbanyang pulang ke rumah bisa langsung mandi, makan dan istirahat ..ternyata makanan belum siap, anak pada "rewel" kira2 apa yang ayah rasakan?
Kesal, kecewa, marah?

Nah, dari ilustrasi tadi perilaku negatif ini antara usia anak pra aqil baligh dengan yang sudah baligh baik itu pemuda ataupun sudah dewasa bisa disimpulkan bahwa pemicunya sama, yaitu ada gap antara terpenuhinya kebutuhan fisik dan nauliah

Antara harapan/fakta dengan kenyataan ada yang berbeda

〰〰〰〰〰〰
Suatu yang fitrah atau manusiawi jika menghadapi gap ini akhirnya terpicu emosi (kecewa, marah, sedih, kaget, takut, malu)

Tapi apakah ketika terpicu emosi maka ekspresinya adalah hal manusiawi jika diluapkan dengan perilaku negatif?

Ternyata ada dua pilihan dalam merespon emosi ini :
1. Emosi ➡ ekspresinya perilaku negatif (tidak terkontrol)
2. Emosi➡ ekpresinya
Perilaku positif (terkontrol)

Menurut Dr Amir Zuhdi (dokter neuroscience) saya kutip pembicaraannya dalam sebuah workshopnya beliau:

" otak manusia ada bagian yang mengatur rasional dan ada yang mengatur emosi

Setiap yang dirasa oleh tubuh apakah itu dari fisik atau naluri ditangkap oleh bagian otak yang bernama thalamus sebagai operator penerima dan penerus seluruh rangsangan dari panca indera

Normalnya sebuah respon dari sebuah emosi negatif ataupun positif seperti ini skemanya:
Stimulasi/pemicu➡ditangkap thalamus➡diteruskan ke otak rasional mengatur respon ekspresi emosi➡perilaku terkontrol

Jadi setiap pemicu apapun yang berperan pertama untuk mengambil keputusan adalah otak rasional, baru otak rasional mengomando otak emosi dan merespon dengan perilaku

Sehingga emosi negatif tidak menghasilkaan perilaku negatif

Namun, dalam kondisi tertentu sering terjadi Amigdala Hiject (istilah Dr Amir Zuhdi)

Yaitu sebuah kondisi dimana yang bertugas merespon segala stimulasi (dari kebutuhan fisik/naluri) langsung komandonya diambil alih oleh otak emosi (amigdala)

Sehingga :
Emosi negatif ➡ perilaku negatif

Fenomena amigdala hiject ini faktor diantaranya adalah pola asuh dan innerchild (mohon dikoreksi ya mba anggia 😄🙏)

〰〰〰〰〰〰

Kesimpulan yang saya dapatkan dari pembicaraan pak dokter adalah: saya harus menggunakan akal untuk menjalankan proses berpikir/rasional tadi dalam menghadapi emosi agar saya tidak di"hiject"/dikendalikan oleh amarah/nafsu

Jika dialami oleh yang sudah baligh apakah pemuda ataupun dewasa maka ada pola asuh orangtua kita yang sering mengasah otak reptil sehingga amigdala atau otak emosi ini yang mengambil alih komando

Amigdala hiject ini akan memgakibatkan temper tantrum atau buta emosi : ketidak mampuan mengendalikan amarah/ mengidentifikasi emosi

〰〰〰〰〰〰

"Emosi apapun tidak boleh diekspresikan dengan perilaku negatif"

Setuju aybun?

Bagaimana agar setiap ada emosi agar tidak menghasilkan ekspresi negatif(merusak, menghina, merugikan oranglain)?

Maka untuk kita orang dewasa:
Fungsikanlah otak rasional, pegang kendali oleh proses berpikir, jangan biarkan amigdala meng"hiject"...atau dikuasai amarah/nafsu

Caranya adalah:
1. Ketika ada emosi (dialami kita atau anak) maka identifikasi pemicunya. Apakah karena gap kebutuhan fisik atau gap kebutuhan naluriyah
2. Ajak diri untuk berpikir positif : " oke, ini ya masalahnya..mari kita cari solusi.
3. Ketika kita fokus pada solusi maka otak rasional sedang bekerja untuk mengendalikan amigdala agar menyikapi emosi tidak dengan ekspresi negatif sehingga berperilaku negatif
4. Kenalilah diri sendiri agar terlatih menggunakan proses berpikir ketika menghadapi emosi dan reparasi lah.  Caranya dengan list hal-hal apa saja yang membuat marah,  kesal,  sedih dll , kemudian diingat ingat juga tindakannya yang dilakukan saat itu,  bertanyalah pada diri sudah tepatkan tindakan tersebut

Jika sudah pertahankan,  jika belum perbaiki lah dan komitmen

5. Jika suatu saat betul2 tidak terkontrol maka teladanilah rasul ketika mengendalikan emosi, jika berdiri duduklh,  jika duduk berbaringlah dst,  dari situ say mengambil pelajaran bahwa ketika akal proses berpikir mentok maka beralihlah pada suasana tersebut

〰〰〰〰〰〰
Nah, jika dikaitkan  pada diri saya saat pagi itu (selama beberapa tahun, astagfirullah), saya sibuk, berkonsentrasi penuh mengejar target penyelesaian tugas domestik secepat dan sepagi mungkin, ditambah ada rasa "iri" pada suami..terkadang klo ga lagi sibuk pengennya leyeh-leyeh. Saat alfath bangun dengan ekspresi emosi yang membuat saya kecewa, kaka fathiya juga tidak bersegera mandi dan sarapan (pengennya saya), maka ada gap antara fakta dan harapan. Saya inginnya kerjaan domestik segera "rebes"/beres,  anak bangun dengan ceria dan menjalankan tugas pagi mereka dengan mandiri dan lancar, suami pun berempati agar menciptakan pagi yang indah di baity jannati. Tapi kenyataannya 😪😪 ..maka saya stress.. Ada gap dengan jurang yang dalam antara harapan dam kenyataan
 
Sejak saya sadar bahwa anak2 belajar ekspresi emosi dari saya,  bahwa mereka telah keliru mengekspresikan emosi itu adalah karena *kesalahan saya* maka saya bertekad untuk melalukan 5 tahapan tersebut.

Saya menyadari bahwa ketika kondisi pagi saya sangat sibuk dan akan stress jika anak2 dan suami tidak tidak suport dalam menciptakan "suasana pagi bahagia" (akhirnya saya tahu masalahnya)

Saya berusaha mencari jawaban,  kenapa suami tidak empati,  kenapa kaka fathiya tidak bersegera dan mandiri,  kenapa alfath bangunnya berteriak dan amarah...

Akhirnya saya dapat solusi,  saya diskusikan pada suami tentang kondisi saya jika mengahadapi pagi hari dan sampaikan harapan saya padanya

Saya menemukan jawaban bahwa alfath itu ingin ketika membuka mata disambut dengan keberadaan saya disisinya,  dipeluk,  dielus,  disun,  begitupun dengan kaka fathiya

Maka ketika saya bicarakan kondisi saya pada suami,  saya sampaikan hasil temuan saya terkait anak2, saya diskusi dengan suami dan minta saran bagaimana caranya agar pagi hari di baity jannati ini menjadi pagi yang bahagia.. Alhamdulillah,  saya tidak stress lagi.

Selanjutnya tinggal lakukan revarasi pada anak

Jika terjadi pada anak:
1. Identifikasi pemicu dan bantu anak untuk mengenali pemicu tersebut. Dan bangun empati kita. Jika anak emosi maka seharusnya kita berempati,  kita harus menjadi guru terbaik untuk mereka,  bantu mereka agar bisa menyelesaikannya dan mengekspresikan dengan benar (contohnya in syaAllah menyusup di sesi diswap)
2. Setelah anak mengetahui kondisi yang dialaminya, dekap anak, bisikan kata2 positif agar perasaan negatif nya berkurang
3. Bantu dengan menawarkan solusi dan alihkan pada hal lain yang menarik
4. Jadilah bengkel reparasi dari ekspresi yang terlanjur keliru (contoh kegiatannya insyaAllah disusulkan)
5. Tanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri anak agar kelak akalnya memiliki referensi dalan melakukan proses berpikir untuk mengendalikan ekspresi emosi

Wallahu 'alam
Mohon maaf jika ada hal yang keliru,  wassalamu'alaykum wr. wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar